Jumat, 05 September 2025

Sudan dan Sudan Selatan, Konflik yang Serupa Tapi Berbeda


Sudan dan Sudan Selatan sama-sama tercatat dalam peta konflik paling rumit di Afrika modern. Meski berbagi sejarah panjang sebagai satu negara sebelum perpisahan pada 2011, dinamika pertikaian yang mereka hadapi kini memiliki ciri khas masing-masing. Kesamaan dan perbedaan dalam konflik tersebut memperlihatkan betapa rapuhnya stabilitas politik di kawasan.

Sudan saat ini diguncang oleh perebutan kekuasaan antara dua jenderal besar, Abdel Fattah al-Burhan dari angkatan darat dan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Sementara Sudan Selatan tidak kalah pelik, di mana Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya, Riek Machar, menjadi simbol perpecahan politik sekaligus etnis.

Kesamaan pertama yang jelas terlihat adalah dominasi elit dalam memicu konflik. Di kedua negara, perseteruan bukan semata soal ideologi, melainkan pertarungan personal dan kelompok elit untuk merebut kendali negara. Akibatnya, rakyat sipil menjadi korban dari ambisi para penguasa yang gagal membangun konsensus.

Selain faktor elit, konflik di kedua negara juga sarat dengan dimensi etnis dan regional. Di Sudan Selatan, garis perpecahan tegas antara etnis Dinka yang dipimpin Kiir dan etnis Nuer yang bernaung di bawah Machar. Di Sudan, meski basis konfliknya militer, dimensi etnis juga muncul, terutama karena RSF berakar dari milisi Arab Darfur.

Dampak kemanusiaan menjadi sisi lain dari kesamaan keduanya. Perang di Sudan telah menimbulkan jutaan pengungsi internal maupun lintas batas. Begitu pula di Sudan Selatan, gelombang pengungsian sejak perang saudara 2013 hingga kini masih membekas. Ribuan orang kehilangan nyawa, sementara jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal.

Meski sama-sama lahir dari ambisi elit, pola konflik di kedua negara berbeda secara mendasar. Sudan menghadapi perang saudara untuk mempertahankan satu negara utuh, di mana dua kekuatan militer berebut kendali atas Khartoum dan institusi negara.

Sebaliknya, Sudan Selatan menghadapi perang saudara pasca-kemerdekaan. Konflik pecah di tubuh partai berkuasa yang gagal mengelola transisi dari perjuangan kemerdekaan ke pemerintahan stabil. Perpecahan politik yang awalnya sempit melebar menjadi konflik etnis besar-besaran.

Perbedaan lain terlihat pada tujuan awal perang. Sudan Selatan terbakar oleh perpecahan internal dan isu representasi etnis dalam pemerintahan. Sudan justru terjerumus perang karena gagalnya transisi menuju pemerintahan sipil, memicu bentrokan langsung antara dua kekuatan bersenjata.

Konflik di Sudan berfokus pada perebutan negara yang masih utuh, sedangkan konflik di Sudan Selatan menunjukkan kerentanan negara baru yang gagal membangun fondasi politik inklusif setelah kemerdekaan. Dua jalur berbeda, namun sama-sama berakhir dalam lingkaran kekerasan.

Perbedaan pola ini memberi dampak berbeda pula pada prospek perdamaian. Di Sudan, solusi sangat tergantung pada apakah militer dapat ditekan untuk menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan sipil. Di Sudan Selatan, perdamaian menuntut rekonsiliasi etnis yang jauh lebih rumit karena akar masalahnya tertanam di masyarakat.

Namun, persamaannya tetap kentara: baik Sudan maupun Sudan Selatan gagal melahirkan kepemimpinan yang mampu melampaui kepentingan pribadi dan kelompok. Elit terus menggunakan etnisitas sebagai senjata politik untuk mempertahankan pengaruh.

Kedua negara juga terjebak dalam krisis ekonomi yang memperparah penderitaan rakyat. Infrastruktur hancur, distribusi pangan terganggu, dan pelayanan publik lumpuh. Kondisi ini memperpanjang krisis kemanusiaan yang sudah parah.

Peran internasional pun berbeda. Sudan Selatan lebih sering mendapat campur tangan dari lembaga internasional melalui misi perdamaian PBB. Sudan, sebaliknya, kini lebih banyak ditinggalkan, dengan konflik yang kian membesar tanpa solusi global yang efektif.

Kendati demikian, komunitas internasional memandang kedua negara sebagai sumber ketidakstabilan regional. Gelombang pengungsi, arus senjata, dan potensi radikalisasi bisa menyebar ke negara tetangga, sehingga menambah dimensi regional dalam konflik ini.

Secara historis, Sudan dan Sudan Selatan memang dipisahkan oleh perbedaan budaya, agama, dan etnis. Namun ironisnya, setelah berpisah pun keduanya tetap dipersatukan oleh nasib yang sama: gagal mengakhiri lingkaran kekerasan internal.

Pengamat menilai bahwa keberhasilan perdamaian di Sudan bisa menjadi inspirasi bagi Sudan Selatan, atau sebaliknya. Namun, jalan menuju rekonsiliasi di kedua negara masih panjang karena tidak hanya membutuhkan perjanjian politik, tetapi juga rekonstruksi sosial dan ekonomi.

Tanpa perubahan mendasar, konflik hanya akan berulang dalam siklus yang sama. Sejarah menunjukkan, baik Sudan maupun Sudan Selatan sudah berkali-kali menandatangani kesepakatan damai, namun selalu gagal diimplementasikan secara konsisten.

Pada akhirnya, persamaan paling besar dari konflik Sudan dan Sudan Selatan adalah bahwa rakyat selalu menjadi korban. Kehidupan sehari-hari dipenuhi ketakutan, kekurangan, dan penderitaan, sementara elit sibuk bertikai demi kekuasaan.

Perbedaan paling mencolok adalah alasan mengapa mereka bertikai. Sudan bertempur untuk mempertahankan kontrol atas negara yang mapan, sementara Sudan Selatan bertikai karena gagal mengelola negara baru. Dua sisi dari mata uang yang sama, dengan beban rakyat sebagai taruhannya.

Sudan dan Sudan Selatan dengan demikian menjadi cermin kegagalan kepemimpinan Afrika modern. Perjalanan panjang mereka menunjukkan bahwa perpisahan negara bukanlah akhir konflik, melainkan awal dari babak baru pertarungan elit yang tak kunjung usai.


0 comments:

Posting Komentar

Featured News

PHA3M Home | UD Paju Marbun | Sultan Group | IMECH | BeritaDekhoCom | TobaPosCom | © 2014 - Designed by Templateism.com, Distributed By Templatelib