Selasa, 06 November 2012

Sebuah Tulisan Tentang Haji


Romantika Haji Di Zaman Belanda


Oleh: Ibn Khasbullah

Beratnya ibadah haji di zaman colonial
Bertepatan dengan kedatangan saya di Seoul- Kore Selatan, dimana tulisan ini saya sempurnakan, semua jama’ah haji Indonesia dengan kloter terakhir telah pulang ketanah air  dengan membawa segala kenangan suka duka dan asyik masyuk ketika mereka memenuhi panggilan Tuhan mereka, dan bangsa Indonesia boleh berbangga hati bahwa tahun ini tercatat sebagai pengirim jama’ah haji paling besar dari seantero dunia : 107 ribu jama’ah!!! Sungguh suatu jumlah yang tak terbayangkan bila kita menengok ke masa sulit sebelum alam kemerdekaan. Bila kita menengok ke masa lalu, sungguh masa- masa itu merupakan suatu masa yang sangat pahit bagi seluruh bangsa Indonesia termasuk para calon hajinya. Tidak hanya masalah transportasi saja yang memang belum memadai pada masa itu, tapi juga karena segala macam aturan yang amat merepotkan dari sang penjajah serta perlakuan yang sangat menyulitkan dari para penguasa colonial baik pada saat mau berangkat maupun seusai mereka menunaikan ibadah haji. Tercatat pada tahun 1664 pemerintah colonial MELARANG 3 (tiga) orang Bugis untuk mendarat setelah selesai menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan membuang mereka ke Tanjung Harapan di Afrika. Belanda mengemukakan dalih bahwa kedatangan mereka ketanah air  ditengah- tengan ummat Islam yang sangat menghormati orang- orang yang sudah menunaikan ibadah haji dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusuhan. Pada tahun 1716, 10 (sepuluh) orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji, diperbolehkan mendarat, akan tetapi mereka selalu dalam pengawasan yang ketat. Pada tahun 1825, pada saat awal perang Diponegoro, Belanda mengeluarkan suatu resolusi yang bertujuan membatasi jumlah jama’ah haji. Dalam resolusi tersebut ditentukan bahwa para calon jama’ah haji harus memiliki passport yang wajib dibeli dengan harga 110 gulden, suatu jumlah yang sangat besar pada waktu itu .(Zamakhsari Dhofier: Tradisi Pesantren.hal.10). Keadaan tersebut sangat kontras bila dibandingkan dengan masa- masa sekarang setelah alam kemerdekaan. Kemudahan- kemudahan, fasilitas dan bimbingan terus meningkat tahun demi tahun sekaligus merupakan barometer keberhasilan dan kepedulian dari pihak pemerintah.
Potensi para haji di zaman colonial.
Telah disebutkan diatas bahwa pemerintah Hindia Belanda amat takut terhadap potensi yang dimiliki oleh para haji untuk memimpin pemberontakan, karena begitu besarnya penghargaan dan penghormatan dari masyarakat terhadap mereka. Penghormatan yang besar dari masyarakat  itu timbul karena 2 (dua) hal pokok, yaitu:
1.      Mengikuti jejak langkah Rasulullah yang sangat menghormati para haji. Diceriterakan dalam sebuah hadist bahwa Nabi Muhammad MINTA DIDO’AKAN oleh sahabat Umar tatkala sahabat tersebut meminta izin kepada Rasul untuk menunaikan Umroh .( Imam Nawawi Ad- Dimasyqi: Al- Adzkar; bab tentang kebolehan orang yang lebih utama minta di do’akan oleh orang yang derajatnya berada dibawahnya). Riwayat ini menunjukkan bahwa do’a para haji itu dikabul dan kedudukan mereka sangat terhormat, sampai- sampai Rasulullah minta dido’akan oleh mereka. (sekaligus menunjukkan bagaimana Rasul itu memiliki sifat yang “andap asor/ tak congkak”).
2.      Para calon haji pada zaman itu memang rata- rata “berkualitas lebih”, tidak asal- asalan. Mereka adalah orang- orang mumpuni didaerahnya baik dalam segi  ilmu, akhlaq, keberanian menanggung resiko, dan tentu saja “lebih”  secara financial.
Ketakutan pemerintah colonial ini kemudian memang terbukti. Banyak para haji- terutama yang telah sekian lama bermukim di Mekah serta sempat mendengar ide- ide besar para tokoh pada saat itu, diantaranya dari pemikiran Jamaluddin Al- Afghani – menjadi sadar akan nasib bangsanya yang terhina dan terjajah…Mereka disamping terusik jiwa jihadnya melihat kesewenang-wenangan Belanda, juga merasa prihatin terhadap kehidupan keagamaan kaum muslimin saat itu. Seperti dijelaskan diatas, Belanda mengeluarkan berbagai aturan yang menghambat kepergian calon haji ke Mekah. Sekaligus berarti memutus mata rantai spiritual dan intelektual islami diantara Negara sumber islam yaitu Mekah/ Madinah dengan penduduk tanah jajahan. Sehingga umat islam waktu itu bagaikan layang- layang putus tali. Kehidupan keagamaan menjadi sangat gersang, dan sesuai denga pernyataan C. Poensen, seorang sarjana Belanda yang menyatakan bahwa: “Pada akhir abad ke 19, mayoritas orang jawa sebenarnya TIDAK MENGENAL ISLAM kecuali dalam hal sunatan, puasa dan larangan makan daging babi”. Apalagi suatu hal yang sangat beralasan bahwa sejak dari mula pertama keberadaan islam di Indonesia sebagian besar kelompok keagamaan tidak mendasari doktrin- doktrin nya dengan Al- Qur’an, akan tetapi mengambil dari tradisi- tradisi Jawa Pra Islam. Atau menurut bahasa Prof.Dr.Sartono Kartodirjo: “It is reasonable assumption that from the earliest Islamic times in Indonesia, there have existed sects professing doctrines NOT BASED ON QORAN, but originating from pre Islamic Javanese tradition.(Sartono Kartodirjo: Protest Movement in Rural Java. 127).
Oleh karena itulah kemudian banyak para haji menyingsingkan lengan bajunya untuk menentang kolonialisme  sekaligus memberantas ketak acuhan masyarakat terhadap ajaran agamanya. Kita lihat bagaimana kaum padri di Minangkabau sangat menentang minuman keras, perjudian, menyabung ayam dan segala kemaksiyatan yang merajalela saat itu dinegeri Minang, yang sangat menodai kesucian agama islam, namun sekaligus juga melawan Belanda. (K.H.Saifuddin Zuhri: Sejarah Kebangkitan Nasional. 570). Lihat pula peristiwa Cilegon (1888) yang dipimpin oleh Haji Wasid atau peristiwa Gedangan yang dipimpin oleh Haji Kasan Mukmin, dan masih banyak lagi contoh lainnya baik di Jawa maupun luar Jawa.
Berbagai bentuk perlawanan.
Rupanya dengan pengaruh mereka yang besar di masyarakat dan dengan suatu keyakinan:” Tidak ada yang ditakuti selain Allah ” mereka bangkit untuk membela bangsanya. Adakalanya dengan bentuk perlawanan fisik, adapula yang dengan perlawanan melalui tulisan  atau pengajian. Bentuk perlawanan jenis ini dapat kita temukan pada perjuangan K.H.A.Rifa’i dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah pada akhir abad ke 19 (1786 – 1870). Beliau berjuang dengan tulisan dan dakwahnya melawan tatanan yang tidak adil dan rusak pada waktu itu. Diserangnya kaum colonial  dan penjajah, dicercanya para penguasa pribumi yang tunduk pada “Raja Kafir”, serta bukan lagi menjadi pengayom rakyat, tetapi sudah menjadi kaki tangan Belanda. (Nugroho Notosusanto: Sejarah Nasional II.180 – 181). Digempurnya kaum Muslimin yang sudah tidak “Taslim/ tunduk” lagi kepada hukum- hukum syar’i , didambakannya alam kemerdekaan yang agung. Dalam sebuah kitabnya berjudul “Thoriqot” beliau menulis:
” Mukmin bungkuk luwih utomo nandur jagung
Tinimbang mukmin bungkuk ngawulo tumenggung.
Alim sholeh milih merdiko ingkang agung.
Agawe kutho- daerah- yen biso langsung.”
Artinya:
Lebih utama seorang mukmin sampai bongkok menanam jagung.
Daripada mukmin sampai bungkuk- menghamba tumenggung.
Alim sholeh memilih kemerdekaan yang agung
Membina kota- daerah kalau bisa langsung
Betapa beraninya beliau mengemukakan cita- cita kemerdekaan, pada saat cengkeraman penjajahan masih begitu kuat, jauh hari sebelum munculnya Budi Oetomo dll.
Perhatikan serangannya kepada kaum muslimin yang sudah pada lalai pada agamanya:
Podo ngaku islam ujare puro- puro
Tan gugu ing sak benere syara’ wicoro
Gegeyongane mung anut adate negoro
Atine kafir luwih gede keno leloro
Semua mengaku islam, ucapannya pura- pura
Tak mau menurut kepada sebenarnya hokum syara’
Bergantungnya hanya mengikuti adat negeri.
Hatinya kafir kena penyakit yang lebih besar.
(K.H.A.Rifa’i: Ri’ayatul Himmah)
Para haji dicap extremist / teroris
Sudah barang tentu pemerintah colonial tidak tinggal diam melihat semua gerakan protest oleh para haji tersebut. Disingkirkannya mereka satu persatu dengan segala cara. Yang paling sering dengan mengadu domba dengan sesama bangsanya atau kemudian dibuang karena dianggap sebagai bahaya politik. Kadang dengan segala siasat tipuan yang nista seperti yang dilakukan kepada P. Diponegoro, kadangkala dengan pengadilan yang sumir, kadangkala tanpa proses yang semestinya, sekedar tanya jawab kemudian putusan pun jatuh: DIBUANG!
Demikian juga yang terjadi pada K.H.A. Rifa’I, dengan keputusan Gubernur Jendral Pahud dengan nomor 35 tertanggal 19- Mei- 1859, beliau dibuang ke Ambon sebelum dipindahkan ke Menado dengan tuduhan:
1 – Ahmad Ripangi tidak mentaati kepala pemerintahan pribumi yang diangkat oleh
pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian dianggap sebagai suatu bahaya
politik.
2 -  Tindakan itu bukan merupakan perkara hukum resmi. Oleh karena itu tidak diadakan
pengadilan.
3 -  Tindakan pengasingan ini merupakan usaha preventip untuk mencegah timbulnya
bahaya ketertiban dan keamnan.
(Oos Indische Besluit, 289/59 Geheim,19- Mei-1859).
Demikianlah salah satu contoh bagaimana pemerintah colonial bertindak terhadap para “Extremist” yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan penjajahan. Prof. Dr. Karel Steenbrink, seorang ahli keislaman dari Belanda pernah menceriterakan kepada penulis berdasar catatan yang ia temukan di Leiden University, bahwa pernah pemerintah Hindia Belanda membuang sorang haji ke pengasingan hanya gara- gara  haji tersebut tatkala mengadakan pesta khitanan puteranya, ternyata yang datang amat banyak. Ini oleh mereka sudah dianggap sebagai “bahaya politik”.
Melihat berbagai contoh diatas seharusnya umat islam sekarang ini banyak bersyukur kepada Allah atas segala karunianya dan juga berterimakasih kepada pemerintah yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya  telah banyak membantu pelaksanaan ibadah haji. Kepada para haji kami mengajak agr mampu melakukan self correction dan muhasabah, apakah kualitas kehajian mereka sekarang ini layak diperbandingkan dengan para haji pejuang sebelum zaman kemerdekaan.
Seoul, Korea Selatan : 23- Juli- 1992

Sumber

0 comments:

Posting Komentar

Featured News

PHA3M Home | UD Paju Marbun | Sultan Group | IMECH | BeritaDekhoCom | TobaPosCom | © 2014 - Designed by Templateism.com, Distributed By Templatelib